1.
CONTOH KASUS HAK PEKERJA
PHK Pekerja Bestin Hotel Karawang
Lukman, Ketua SPK. Hotel Bestin
menjelaskan bahwa hotel tempatnya bekerja dulu merupakan hotel terbesar di kota
Karawang dan selalu menjadi pilihan utama para tamu, tetapi sejak kerusuhan
tahun 1998, hotel ini terus menerus mengalami penurunan.
Dari
sekitar 200 pekerja pada tahun 1998, sekarang hanya tersisa sekitar 35 orang
saja. Sementara Rojai, Sekretaris SPK. Hotel Bestin menambahkan bahwa sejak
bertahun-tahun lalu, perusahaan tidak memenuhi kewajibannya membayarkana hak
normative pekerjanya. Upah di bawah UMK, jamsostek tidak dibayarkan dan hak
lain semisal upah lembur.
Pratiwi, mewakili LBH Jakarta yang
memimpin diskusi menambahkan bahwa Pengacara Publik di LBH Jakarta akan
mempelajari kasus ini dan kemudian menetapkan beberapa strategi khusus
memenangkan kasus ini. Salah satunya dengan upaya mempailitkan perusahaan agar
mereka mau membayarkan seluruh hak pekerjanya. Sekarang, kondisi hotel semakin
memprihatinkan. Pengusaha menggantikan buruh yang mogok dengan pekerja
baru dan mengusir pekerja dari area hotel, menolak berunding dan membangkang
terhadap hukum.
2. CONTOH KASUS IKLAN TIDAK ETIS
Iklan Diskon Tenaga Kerja Wanita di
Malaysia
Kasus
pelanggaran etika iklan yang diperbincangkan di KOMPAS.com dan harian KOMPAS
ini, jika dirujukkan pada kitab Etika Pariwara Indonesia, Tata Krama dan Tata
Cara Periklanan Indonesia, edisi Agustus 2005, melanggar Pasal 3.2 tentang
Perempuan. Dalam pasal tersebut dikatakan, iklan tidak boleh melecehkan,
mengeksploitasi, mengobyekkan, atau mengornamenkan perempuan sehingga memberi
kesan yang merendahkan kodrat, harkat dan martabat.
Pada
iklan penempatan tenaga kerja wanita di Kuala Lumpur, Malaysia, seperti
ditemukan Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah, dengan sengaja
menyebutkan kata ‘Indonesian maids now on SALE’ Bagi Anis,
‘’Iklan ini bentuk pelecehan.’’ Mengacu Pasal 3.2 Etika Pariwara
Indonesia, iklan tersebut secara nyata mengornamenkan perempuan sedemikian rupa
sehingga memberi kesan yang merendahkan kodrat, harkat dan martabat perempuan,
khususnya perempuan tenaga kerja dari Indonesia.
3. CONTOH KASUS ETIKA PASAR BEBAS
Dugaan Dumping Terhadap Ekspor Produk Kertas Indonesia ke Korea
Salah
satu kasus yang terjadi antar anggota WTO kasus antara Korea dan Indonesia,
dimana Korea menuduh Indonesia melakukan dumping woodfree copy paper ke Korsel
sehingga Indonesia mengalami kerugian yang cukup besar. Tuduhan tersebut
menyebabkan Pemerintah Korsel mengenakan bea masuk anti dumping (BMAD) sebesar
2,8 persen hingga 8,22 persen terhitung 7 November 2003. dan akibat adanya
tuduhan dumping itu ekspor produk itu mengalami kerugian. Ekspor woodfree copy
paper Indonesia ke Korsel yang tahun 2002 mencapai 102 juta dolar AS, turun
tahun 2003 menjadi 67 juta dolar.
Karenanya,
Indonesia harus melakukan yang terbaik untuk menghadapi kasus dumping ini,
kasus ini bermual ketika industri kertas Korea mengajukan petisi anti dumping
terhadap 16 jenis produk kertas Indonesia antara lain yang tergolong dalam
uncoated paper and paperboard used for writing dan printing or other grafic
purpose produk kertas Indonesia kepada Korean Trade Commision (KTC) pada
tanggal 30 september 2002 dan pada 9 mei 2003, KTC mengenai Bea Masuk Anti Dumping
(BMAD) sementara dengan besaran untuk PT pabrik kertas Tjiwi Kimia Tbk sebesar
51,61%, PT Pindo Deli 11,65%, PT Indah Kiat 0,52%, April Pine dan lainnya
sebesar 2,80%. Namun, pada 7 November 2003 KTC menurunkan BM anti dumping
terhadap produk kertas Indonesia ke Korsel dengan ketentuan PT Pabrik kertas
Tjiwi Kimia Tbk, PT Pindo Deli dan PT Indah Kiat diturunkan sebesar 8,22% dana
untuk April Pine dan lainnya 2,80%. Dan Indonesia mengadukan masalah ini ke WTO
tanggal 4 Juni 2004 dan meminta diadakan konsultasi bilateral, namun konsultasi
yang dilakukan pada 7 Juli 2004 gagal mencapai kesepakatan.
Karenanya,
Indonesia meminta Badan Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement Body/DSB)
Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) membentuk Panel dan setelah melalui proses-proses
pemeriksaan, maka DSB WTO mengabulkan dan menyetujui gugatan Indonesia terhadap
pelanggaran terhadap penentuan agreement on antidumping WTO dalam mengenakan
tindakan antidumping terhadap produk kertas Indonesia. Panel DSB menilai Korea
telah melakukan kesalahan dalam upaya membuktikan adanya praktek dumping produk
kertas dari Indonesia dan bahwa Korea telah melakukan kesalahan dalam
menentukan bahwa industri domestik Korea mengalami kerugian akibat praktek
dumping dari produk kertas Indonesia.
4. CONTOH KASUS WHISTLE BLOWING
Penggelapan Pajak Oleh PT.
Asian Agri Group
PT Asian Agri Group (AAG) adalah
salah satu induk usaha terbesar kedua di Grup Raja Garuda Mas, perusahaan milik
Sukanto Tanoto. Menurut majalah Forbes, pada tahun 2006 Tanoto
adalah keluarga paling kaya di Indonesia, dengan kekayaan mencapai US$ 2,8
miliar (sekitar Rp 25,5 triliun).
Terungkapnya dugaan penggelapan
pajak oleh PT AAG, bermula dari aksi Vincentius Amin Sutanto (Vincent) membobol
brankas PT AAG di Bank Fortis Singapura senilai US$ 3,1 juta pada tanggal 13
November 2006. Vincent saat itu menjabat sebagai group financial
controller di PT AAG – yang mengetahui seluk-beluk keuangannya.
Perbuatan Vincent ini terendus oleh perusahaan dan dilaporkan ke Polda Metro
Jaya. Vincent kabur ke Singapura sambil membawa sejumlah dokumen penting
perusahaan tersebut. Dalam pelariannya inilah terjadi jalinan komunikasi antara
Vincent dan wartawan Tempo.
Pada tanggal 1 Desember 2006 VAS
sengaja datang ke KPK untuk membeberkan permasalahan keuangan PT AAG yang
dilengkapi dengan sejumlah dokumen keuangan dan data digital.Salah satu dokumen
tersebut adalah dokumen yang berjudul “AAA-Cross Border Tax Planning (Under
Pricing of Export Sales)”, disusun pada sekitar 2002. Dokumen ini memuat
semua persiapan transfer pricing PT AAG secara terperinci.
Modusnya dilakukan dengan cara menjual produk minyak sawit mentah (Crude
Palm Oil) keluaran PT AAG ke perusahaan afiliasi di luar negeri dengan
harga di bawah harga pasar – untuk kemudian dijual kembali ke pembeli riil
dengan harga tinggi. Dengan begitu, beban pajak di dalam negeri bisa ditekan.
Selain itu, rupanya perusahaan-perusahaan luar negeri yang menjadi rekanan PT
AA sebagian adalah perusahaan fiktif.
Pembeberan Vincent ini kemudian
ditindaklanjuti oleh KPK dengan menyerahkan permasalahan tersebut ke Direktorat
Pajak – karena memang permasalahan PT AAG tersebut terkait erat dengan
perpajakan. Direktur Jendral Pajak,
Darmin Nasution, kemudian membentuk tim khusus yang terdiri atas pemeriksa,
penyidik dan intelijen. Tim ini bekerja sama dengan Pusat Pelaporan dan
Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan Kejaksaan Agung. Tim khusus tersebut
melakukan serangkaian penyelidikan – termasuk penggeledahan terhadap kantor PT
AAG, baik yang di Jakarta maupun di Medan.
Berdasarkan hasil penyelidikan
tersebut (14 perusahaan diperiksa), ditemukan terjadinya penggelapan pajak yang
berupa penggelapan pajak penghasilan (PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPN).
Selain itu juga "bahwa dalam tahun pajak 2002-2005, terdapat Rp 2,62
triliun penyimpangan pencatatan transaksi. Yang berupa menggelembungkan
biaya perusahaan hingga Rp 1,5 triliun. mendongkrak kerugian transaksi ekspor
Rp 232 miliar. mengecilkan hasil penjualan Rp 889 miliar. Lewat modus ini,
Asian Agri diduga telah menggelapkan pajak penghasilan untuk badan usaha
senilai total Rp 2,6 triliun. Perhitungan SPT Asian Agri yang digelapkan
berasal dari SPT periode 2002-2005. Hitungan terakhir menyebutkan penggelapan
pajak itu diduga berpotensi merugikan keuangan negara hingga Rp 1,3 triliun.
Dari rangkaian investigasi dan
penyelidikan, pada bulan Desember 2007 telah ditetapkan 8 orang tersangka, yang
masing-masing berinisial ST, WT, LA, TBK, AN, EL, LBH, dan SL. Kedelapan orang
tersangka tersebut merupakan pengurus, direktur dan penanggung jawab
perusahaan. Di samping itu, pihak Depertemen Hukum dan HAM juga telah mencekal
8 orang tersangka tersebut.
Terungkapnya kasus penggelapan pajak
oleh PT AAG tidak terlepas dari pemberitaan investigatif Tempo – baik
koran maupun majalah – dan pengungkapan dari Vincent. Dalam konteks
pengungkapan suatu perkara, apalagi perkara tersebut tergolong perkara kakap,
mustinya dua pihak ini mendapat perlindungan sebagai whistle blower.
Kenyataannya, dua pihak ini di-blaming. Alih-alih memberikan
perlindungan, aparat penegak hukum malah mencoba mempidanakan tindakan
para whistle blower ini. Vincent didakwa dengan
pasal-pasal tentang pencucian uang – karena memang dia, bersama rekannya,
sempat mencoba mencairkan uang PT AAG.
Sumber
:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar